Para pembaca yang budiman, sedulur semua di manapun berada, apapun suku, bangsa, ras, golongan, kepentingan politik, dan agamanya. Bukan maksud hendak menggurui karena saya tak pernah bercita-cita menjadi guru. Justru karena saya merasa selalu ingin menjadi murid dan kenyataannya sampai sekarang saya tetaplah murid yang selalu berguru kepada alam semesta dan segala isinya. Saya merasa mendapat keuntungan luarbiasa ketika sedang menjadi murid, namun bukannya saya pribadi mau golek butuhe dewe lantas enggan berbagi pengalaman. Biarpun begitu kalau saya dipaksa oleh keadaan untuk menjadi guru ya enggak apalah. Maksud penerbitan buku ini sekedar untuk berbagi pengalaman hidup dan saya gunakan sebagai sarana mensukuri berkah dan anugrah alam semesta, Tuhan, God, Gusti, Sang Hyang Widhi, Allah, Alloh, Brahman, Dei, Sang Jagadnata yang telah saya alami, saksikan, dan dapatkan selama diberi kesempatan untuk singgah di planet bumi ini. Terutama kepada para pembaca yang tidak dapat menjangkau internet. Saya sadari bersukur hanya menggunakan lisan saja tak ubahnya lips service, sekedar ngomong doang sangat tidak cukup dan tidak sebanding dengan berkah dan anugrah Tuhan yang telah saya dapatkan selama ini.
Nah, guru saya sesungguhnya bukanlah mahluk yang teristimewa, bukan pula mursyid, bukan pula ahli dakwah, ahli politik, ahli hukum, ahli ekonomi, dan ahli-ahli yang lain. Saya tidak membatasi kepada mereka semua, bahkan saya menyatakan diri sebagai murid dari ragam bangsa binatang yang ada di planet bumi ini. Saya juga murid dari ragam tetumbuhan yang ada di sekitar kita maupun di hutan belantara sana. Penulis menilai bangsa-bangsa itu sebagai guru yang polos apa adanya, tak pernah berpamrih, dan mereka bangsa paling jujur di planet bumi. Tak luput pula, saya banyak belajar dari kehidupan bangsa lelembut, ragam titah gaib sama-sama mahluk hidup penghuni jagad raya. Namun saya juga tak akan sungkan untuk berguru kepada para pembaca di sini, kepada kawan, sahabat, handai taulan, keluarga, orang-orang terdekat, bahkan berguru kepada orang yang sekiranya membenci saya.
Saya menyadari, sikap “gengsi menjadi
murid, dan bangga menjadi guru”, hanya membuat perkembangan ilmu
pengetahuan mengalami stagnasi, karena tanpa disadari sudah merasa
nyaman berada di dalam penjara kebodohan. Lebih baik sibuk menjadi murid
di sana-sini daripada sibuk menggurui siapa saja di mana-mana. Seorang
murid wajar bila dianggap bodoh, lain halnya jika seorang guru. Saya
tetap enjoy berguru kepada seseorang sekalipun oleh orang lain
dinilai bodoh. Bukankah setiap diri kita memiliki pengalaman hidup yang
berbeda dan beragam..?! Perbedaan dan keragaman pengalaman hidup
masing-masing orang justru dapat menjadi guru yang baik bagi orang lain.
Apakah sesungguhnya arti belajar ? Bagi saya pribadi, belajar pada
prinsipnya merupakan transformasi informasi mengenai fakta kehidupan
yang berbeda dari apa yang telah kita ketahui sebelumnya. Jika mau
belajar, belajarlah kepada heterogentitas fakta kehidupan supaya kita
menyadari segala sesuatu yang ada di luar diri. Belajar pada
homogentitas dan informasi yang telah kita peroleh sebelumnya sama
halnya sekedar kegiatan menghafal. Belajar hidup bukanlah sekedar
menghapal lalu mengucap secara repetitif hapalannya, melainkan setiap
saat mencari informasi kehidupan yang belum kita ketahui untuk kemudian
diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Itu baru disebut manusia
Jawa : jiwa kang kajawa atau Jawi : jiwa kang kajawi. Yakni mengaplikasikan ke dalam kehidupan sehari-hari apa yang telah dipahami.
Alam semesta ini menjadi indah manakala
kita saksikan adanya kebersamaan di atas keberagaman di antara mahluk
penghuninya. Homogentitas hanyalah merupakan bagian yang melengkapi
heterogenitas jagad semesta. Dengan kata lain homogenitas adalah unsur
dasar yang membentuk keberagaman atau heterogenitas. Dan di atas
keberagaman terdapatlah nilai yang bersifat universal. Jadi siapapun
yang mengingkari dan menolak keberagaman serta perbedaan, sungguh ia
telah melawan kodrat atau hukum alam. Kesadaran seperti ini haruslah
kita tanamkan jauh di dalam mindset kita. Dengan adanya kesadaran akan prinsip-prinsip hidup di atas dapat membawa kita untuk menghindari sikap “3G” yakni sikap golek menange dewe, golek butuhe dewe, dan golek benere dewe.
Konotasi 3G sebagai gambaran nyata pola pikir dan pola perilaku hidup
yang jahiliah, menolak kebenaran faktual. Perlu digarisbawahi, bahwa
sikap tidak soleha lebih tepatnya adalah sikap yang tak selaras dan
harmonis dengan hukum keseimbangan alam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar